image

Arsul Sani : Pemerintah Agar Menggali Potensi Pajak dari Sektor Sumber Daya Alam

Kamis, 17 Juni 2021 07:13 WIB

 


Wakil Ketua MPR Arsul Sani meminta pemerintah agar membuka semua potensi, atau paling tidak mempertahankan, penerimaan negara dari sektor pajak. Salah satu potensi pajak yang perlu didalami lagi untuk digali adalah sektor sumber daya alam. Jadi bukan mengembangkan kebijakan untuk memungut pajak dari sektor konsumsi rill seperti pengenaan PPN untuk sembako.

“Pemerintah seharusnya menjelaskan kepada publik bagaimana meningkatkan atau mempertahankan penerimaan negara dari pajak dan menggali sektor-sektor lain, diluar sektor riel atau yang langsung bersentuhan dengan hajarmt hidup orang banyak, untuk bisa dikenakan pajak,” katanya dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema “Pendapatan Negara dan Keadilan Sosial” di Media Center MPR/DPR, Lobi Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/6/2021). Diskusi juga menghadirkan narasumber anggota MPR Fraksi Partai Gerindra Ir. H. Kamrussamad, ST, dan ekonom INDEF, Dr. Enny Sri Hartati.

Menurut Arsul Sani, setiap isu yang berkaitan dengan bertambahnya beban kepada masyarakat seperti penetapan PPN untuk sembako maka secara tidak langsung isu itu akan dihadapkan dengan sila kelima Pancasila (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) dan pasal 33 ayat 4 UUD NRI Tahun 1945.  “Kita harus lihat aspek keadilan sosial dalam mendapatkan sumber pendapatan negara. Sebab, pemerintah baru saja memberikan keringanan PPNBM terkait otomotif, dan akan jadi kebijakan yang anomali kalau sekarang malah sembako dikenakan PPN,” ujarnya.

Arsul menambahkan sebelum menetapkan kebijakan seperti pengenaan PPN untuk sembako, sebaiknya perlu dikaji secara komprehensif dan memiliki logical step. Dia mencontohkan pemerintah pernah menetapkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Namun publik tidak mendapatkan informasi dan penjelasan soal evaluasi dan keberhasilan kebijakan tax amnesty itu baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

“Sekarang mau diambil lagi kebijakan pengampunan pajak jilid kedua tanpa kejelasan target dan manfaat, serta apakah sudah meningkatkan tax ratio dari pengampunan pajak sebelumnya. Kebijakan ini tidak mengikuti logical step. Dan sekarang ingin mengenakan PPN untuk sembako. Ini yang perlu kita kritisi dari aspek keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.

“Karena itu banyak yang menolak kebijakan pengenaan PPN untuk sembako. Kenapa? Karena di tengah pandemi Covid-19 ini, kebijakan pengenaan pajak itu akan melemahkan daya beli masyarakat dan mengganggu roda perekonomian,” tuturnya.    

Anggota MPR dari Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad mengatakan paradigma untuk menyusun dan menciptakan sumber-sumber penerimaan baru bagi negara harus berprinsip berkeadilan. Data terakhir penerimaan dari sektor pajak, ada tiga sektor yang relatif stabil dalam lima tahun terakhir, yaitu industri pengolahan, perdagangan, dan jasa keuangan.

“Penerimaan pajak dari industri pengolahan rata-rata tumbuh di atas 15%, kemudian perdagangan di atas 20%, dan jasa keuangan tumbuh di atas 10%. Dari data itu, dan pengalaman dalam realisasi penerimaan pajak dari tiga sektor itu, maka sektor yang perlu ditingkatkan adalah penerimaan pajak dari sektor jasa keuangan,” kata anggota Komisi IX yang membidangi masalah keuangan ini.

Jika pemerintah akan mengenakan PPN untuk sembako, lanjut Kamrussamad, Komisi XI akan mempertanyakan saat ekonomi tumbuh positif, sektor riil bergerak, pengangguran terkendali, dan kemiskinan berkurang, dalam PMK No. 116 tahun 2017, tidak ada pengenaan pajak untuk sembako. “Karena itu kalau mau diatur dalam UU, kita akan lihat kondisi ekonomi sekarang, rasa keadilan masyarakat, dan konsumsi rumah tangga. Maka, tidak sepatutnya pengenaan PPN untuk sembako di tengah ekonomi yang sedang lesu,” ujarnya.  

“Begitu juga PPN untuk pendidikan. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan pajak dari sektor pendidikan tidak pernah di atas 1%. Artinya, tidak signifikan. Pendidikan tidak sepatutnya dijadikan objek baru pajak sebagai sumber penerimaan negara,” tegasnya.

Sementara itu ekonom INDEF, Enny Sri Hartati menyebutkan klausul tentang wacana pengenaan PPN untuk sembako dalam draf RUU KUP akan menimbulkan resistensi publik. “Pelebaran ke PPN untuk sembako, apalagi jasa pendidikan, pasti akan menguras emosi publik. Kebijakan itu akan menimbulkan resistensi,” ujarnya.

Enny melihat munculnya wacana pengenaan PPN untuk sembako menunjukkan tidak ada lagi kreativitas dari pemerintah untuk menggali penerimaan negara. “Terjadi kebangkrutan inisiatif, inovasi, kreativitas dari pemerintah. Mungkin ini disebabkan adanya diskresi pemerintah pada masa pandemi ini (diskresi UU No. 1 Tahun 2020),” katanya.


Anggota Terkait :

Dr. H. ARSUL SANI , S.H, M.Si. Pr.M