image

Catatan Ketua MPR RI : Mengantisipasi Ekses Ketidakpastian Global

Kamis, 16 Juni 2022 15:07 WIB

Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka

KETIDAKPASTIAN global yang terus tereskalasi saat ini nyata-nyata telah menghadirkan ekses yang cenderung multidimensional. Fakta ini hendaknya dipahami semua elemen masyarakat agar antisipatif menghadapi kemungkinan terburuk.  Salah satu ekses dari ketidakpastian global sekarang ini adalah naiknya harga bahan pangan.

Semangat dan keinginan komunitas global untuk segera pulih dari proses perusakan akibat dua tahun lebih Pandemi Covid-19 nampak sulit terwujud saat ini, karena ketidakpastian justru menjadi berlarut-larut. Bahkan, sebagaimana sudah dipahami semua orang, ketidakpastian global terkini tereskalasi oleh invasi militer Rusia ke Ukraina yang ditentang banyak negara.  Sebagai protes atas invasi itu, banyak negara memberi sanksi ekonomi kepada Rusia, antara lain dengan mengurangi impor minyak dari Rusia.

Karena pasokan minyak ke pasar berkurang, harga energi di berbagai belahan dunia pun melonjak.  Oleh karena menjadi salah satu faktor dalam proses produksi, kenaikan harga energi sudah barang tentu berdampak sangat luas. Biaya produksi otomatis naik. Dan, ongkos distribusi yang menjadi lebih mahal berkonsekuensi pada naiknya harga barang, termasuk harga bahan pangan. Biaya jasa-jasa pun akan mengikuti kenaikan harga energi, sebagaimana keluhan masyarakat terhadap lonjakan harga tiket pesawat terbang akhir-akhir ini.

Dinamika global yang belum berkepastian seperti sekarang tampaknya akan berkepanjangan. Bukan hanya semata-mata karena faktor konflik Rusia-Ukraina yang ujungnya belum bisa diperkirakan, melainkan juga karena faktor  ketegangan  Tiongkok versus Taiwan-Amerika Serikat (AS). Aktivitas militer Tiongkok  di sekitar Taiwan yang dinilai provokatif dan intimidatif dikhawatirkan memicu konflik baru di kawasan itu.

Mewakili Taiwan sebagai sekutunya, AS dan Tiongkok hari-hari ini saling melancarkan perang kata-kata bernada ancaman. Respons Beijing semakin keras setelah AS menyetujui penjualan suku cadang kapal perangnya kepada angkatan laut Taiwan. Ketegangan ini pun pasti berdampak pada berbagai aspek, termasuk aspek perekonomian dan dinamika bisnis. Dalam situasi seperti itu, para pelaku bisnis biasanya mengambil posisi wait and see.

Akibat ketidakpastian sekarang ini, puluhan negara di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali negeri kaya seperti AS, sudah dan sedang menghadapi ekses. Harga minyak dunia naik 58 persen, harga CPO (crude palm oil) naik 27 persen dan harga batu bara naik hingga 133 persen.

Harga bahan bakar minyak (BBM)  yang mahal mendongkrak harga beragam pangan. Konsekuensinya, inflasi pun meroket. Per Mei 2022, angka inflasi di AS tercatat naik menjadi 8,6 persen, tertinggi sejak 1981.

Sejumlah negara bahkan mencatat inflasi hingga puluhan persen. Kecenderungan yang memburuk ini mendorong lembaga multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global per 2022. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 3,6 persen dari proyeksi sebelumnya, 4,4 persen.  Dan, melalui Global Economic Prospects edisi Juni 2022, Bank Dunia juga mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2022 menjadi 2,9 persen dari proyeksi sebelumnya  4,1 persen.

Pemerintah Indonesia pun mewaspadai ekses ketidakpastian global saat ini. Dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini, Presiden Joko Widodo pun sudah mengungkap fakta dan mendorong semua pihak untuk mewaspadai kecenderungan ini.  Presiden pernah mengungkap bahwa tidak kurang dari 60 negara saat ini mengalami kesulitan keuangan dan ekonomi.

Indonesia pun sudah menerima dan menanggung ekses dari ketidakpastian global itu karena sebagian kebutuhan BBM di dalam negeri masih harus diimpor. Sebagaimana sudah dipahami publik, sejak 1 April 2022, PT Pertamina telah menaikkan harga jual BBM jenis Ron 92 atau Pertamax menjadi Rp 12.500-Rp 13.000per liter, dari sebelumnya Rp 9.000-Rp 9.400 per liter.

Walaupun belum signifikan, kenaikan BBM jenis Pertamax pun sudah berdampak pada harga beberapa jenis bahan pangan. Para ibu rumah tangga mengeluhkan naiknya harga cabai. Dan, karena harga avtur naik, calon penumpang pesawat terbang pun harus menerima kenyataan akan lonjakan harga tiket pesawat.

Sebaliknya, untuk mencegah lonjakan inflasi, Pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menaikkan harga jual BBM subsidi jenis solar dan Pertalite. Kedua jenis BBM itu digunakan oleh masyarakat kebanyakan untuk berbagai aktivitas.  

Selain ekses dari kenaikan harga energi, komunitas global juga mulai was-was dengan potensi gangguan pada rantai pasok sejumlah komoditi bahan pangan. Seperti diungkapkan juga oleh Presiden Joko Widodo bahwa tidak kurang dari 22 negara telah mengunci hasil pangan mereka.  

Puluhan negara produsen itu menghentikan atau mengurangi volume ekspor karena lebih memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Cepat atau lambat, dampak dari fakta ini juga akan dirasakan masyarakat Indonesia.  Sebab, selama ini, Indonesia masih impor jagung, gandum, dan kedelai.

Gandum untuk membuat mie, roti dan penganan kue lainnya, sedangkan kedelai untuk bahan baku tahu-tempe. Kalau situasinya tidak bertambah baik, potensi masalah yang akan dihadapi semua orang adalah kemungkinan terganggunya pasokan gandum, kedelai hingga jagung.

Kalau pasokan terganggu, dampaknya akan dirasakan langsung oleh puluhan juta konsumen dan ratusan ribu pengrajin tahu-tempe. Dari sekitar 160 ribu produsen tahu-tempe, mereka butuh ketersediaan kedelai sampai tiga juta ton per tahun. Belum lagi perkiraan risiko yang harus dihadapi oleh para produsen mie instant.

Presiden bersama para menteri tentu sudah membahas dan mengantisipasi ekses terburuk dari ketidakpastian global saat ini. Semua elemen masyarakat pun diharapkan memahami tantangan bersama yang memang sulit dihindari sekarang ini.

Walau pun tidak mudah, masyarakat berharap pemerintah bisa meminimalisir ekses dari ketidakpastian global sekarang ini. Pemerintah dan masyarakat harus mampu mewujudkan suasana kondusif agar dari kebersamaan itu muncul kemampuan mengantisipasi kemungkinan terburuk.


Anggota Terkait :

Dr. H. BAMBANG SOESATYO, S.E., S.H., M.B.A.