image

Gus Jazil: Ciri Negara Demokrasi Adalah Perubahan Yang Berdasar Kehendak Rakyat

Jumat, 19 Maret 2021 20:59 WIB

 

Jakarta – Wakil Ketua MPR Dr. Jazilul Fawaid, M.Ag mengungkapkan bahwa dalam sejarah perjalanan negara Indonesia sampai saat ini, telah mengalami beberapa perubahan konstitusi.  Di era orde lama yang dipimpin Bung Karno ada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, lalu di era orde baru yang dipimpin Soeharto dipakai kembali UUD 1945 dengan jargon kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekwen.  

Kemudian, masuk era reformasi  konstitusi mengalami perubahan menjadi UUD NRI Tahun 1945.  Di era inilah terjadi  perubahan yang sangat istimewa, sebab pasca amandemen, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara yang salah satu kewenangannya memberikan mandat kepada Presiden.  Walaupun begitu, MPR masih memiliki sesuatu yang luarbiasa yakni memiliki kewenangan tertinggi yang tidak dimiliki lembaga lain yaitu merubah dan menetapkan UUD.

Dalam perjalanan era reformasi, muncul wacana besar di tengah masyarakat tentang perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945.  MPR periode 2014-2019 kemudian merespon wacana itu dengan melakukan berbagai kajian bersama elemen-elemen masyarakat seperti tokoh masyarakat, akademisi dan lainnya dan menghasilkan rekomendasi untuk dilanjutkan oleh MPR periode 2019-2024.

Hal tersebut disampaikan Pimpinan MPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang akrab disapa Gus Jazil ini, saat menjadi narasumber dalam acara Diskusi Empat Pilar MPR RI bertema ‘Urgensi Pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara’ kerjasama Biro Humas dan Sistem Informasi Setjen MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen, di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Lobi Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (19/3/2021).  Hadir dalam acara sebagai narasumber Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Juanda, M.H serta awak media massa nasional baik cetak, elektronik dan online sebagai peserta.

“Saya rasa, munculnya gagasan perubahan yang berdasar atas kehendak rakyat adalah ciri negara yang menjalankan demokrasi dengan baik dan jika  arahnya demi kebaikan negara serta seluruh rakyat Indonesia harus untuk dilaksanakan.  Lagipula, konstitusi itu dibuat rakyat sebagai pemegang penuh kedaulatan negara yang perwakilannya ada di MPR dan DPR, apapun maunya rakyat mesti diakomodir, tentu dengan berpedoman pada ketentuan yang ada,” jelasnya.

Ditambahkan Gus Jazil, beberapa ketentuan harus terpenuhi jika perubahan konstitusi ingin dilakukan antara lain,  usul harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Selanjutnya, setiap usul perubahan diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas pasal-pasal mana saja yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, setelah itu dibawa ke Sidang MPR yang harus dihadiri sedikitnya  2/3 anggota MPR.

“Melalui forum ini saya sampaikan kepada masyarakat bahwa sampai hari ini belum ada usulan tersebut.  Yang ada adalah MPR bersepakat untuk melakukan amandemen terbatas terkait PPHN.  Soal mengapa belum ada usulan, karena masih ada dua pandangan yang berbeda yakni pertama, apakah haluan negara masuk konstitusi  dan kedua, haluan negara hanya masuk di UU saja.  Menurut saya pribadi, PPHN ini menjadi penting jika fraksi-fraksi dan kelompok DPD di MPR sepakat untuk menempatkan haluan negara dalam konstitusi sehingga rencana pembangunan nasional menjadi terarah dan berkesinambungan,” paparnya.

Intinya, lanjut Gus Jazil, PPHN tetap menjadi materi yang terus dikaji serius di MPR dan diupayakan agar berhasil menjadi usulan bersama, agar bisa diajukan dalam amandemen terbatas UUD.  “Tentu kajian tersebut melibatkan masyarakat juga, makanya MPR gencar melakukan serap aspirasi ke berbagai daerah.  Saya harap rakyat selain berpartisipasi juga berdoa agar semuanya lancar demi bangsa dan negara,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Prof. Juanda mengungkapkan bahwa haluan negara masuk dalam konstitusi atau hanya dalam UU saja memang sudah menjadi perbincangan di tengah masyarakat.

Ada dua hal menarik yang mesti dicermati, lanjutnya, pertama, jika haluan masuk dalam UU maka keuntungannya adalah antara lain, tidak perlu merubah UUD, lalu mudah menyesuaikan dengan perkembangan zaman.  Kerugiannya adalah rentan politisasi.

Kedua, jika haluan negara masuk dalam konstitusi, maka keuntungannya adalah haluan itu menjadi pedoman seluruh lembaga negara termasuk Presiden dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta melaksanakan pembangunan secara nasional.

“Menurut saya, karena ini adalah haluan negara bukan haluan pemerintah, maka harus masuk ke konstitusi karena jangkauannya yang luas.  Saya rasa, ini harus terus dikaji secara mendalam oleh MPR agar keinginan masyarakat terkait haluan negara bisa terwujud,” tandasnya.


Anggota Terkait :

H. JAZILUL FAWAID, S.Q., M.A.