image

HNW : Menag Perlu Melibatkan Semua Jenis Pesantren Dalam Majelis Masyayikh

Jumat, 31 Desember 2021 07:38 WIB

Jakarta,- Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi penetapan anggota Majelis Masyayikh sesuai UU Pesantren oleh Menteri Agama, setelah proses pemilihan oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang juga pernah dikritisi publik. Sikap kritis HNW, sapaan akrab Hidayat Nur Wahid tersebut karena belum terpenuhinya asas representatif yang dapat mewakili 3 jenis pesantren yang diakui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Represensi yang mewakili 3 jenis pesantren, itu menurut HNW  sangat penting, karena pembetukan anggota Majelis Masyayikh ini adalah yang pertama, dan akan dirujuk serta menjadi pola pembentukan  Majelis Masyayikh berikutnya. Karena itu,   mestinya Menag menghadirkan “sunnah hasanah” atau tradisi yang baik, benar dan adil. Mengakomodasi secara proporsional representasi dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh Pasal 2 ayat (2) UU Pesantren. Yakni Pesantren yang mengkaji kitab kuning (Tradisional), Pesantren dengan sistem Muallimin (Modern) dan Pesantren yang memadukan Ilmu Umum dan Agama.

“Saya mengapresiasi dibentuknya Majlis Masyaikh, serta penetapan para Kiai dan Nyai sebagai anggota Majelis Masyayikh. Namun, baru saja diumumkan, saya mendapatkan masalah yang juga merupakan aspirasi komunitas Pesantren yang mengkritisinya, karena komposisi Majlis Masyaikh yang terpilih, belum merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Baru  2  jenis yang diwakili, dari tiga jenis yang ada. Yaitu Pesantren Salafiyah (yang mengkaji kitab kuning) dan Pesantren yang mengintegrasikan antara pendidikan Agama dengan pendidikan Umum, sementara yang jenis Muallimin (Modern), yang Pesantrennya juga besar dan banyak, malah belum terwakili sama sekali . Mestinya Majlis Masyaikh sesuai dengan prinsip Ahlul Halli wal ‘Aqdi,  merepresentasikan secara adil dan proporsional semua jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (30/12/2021). 
Undang-undang  Pesantren kata HNW, mengklasifikasikan adanya tiga jenis pesantren. Yakni pesantren yang mengkaji kitab kuning, pesantren berbentuk dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; dan pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum. “Ini menunjukan bahwa UU Pesantren dibuat dan disepakati berlaku untuk semua kalangan, bukan hanya golongan tertentu saja. Sesuai realita keragaman Pesantren dan perkembangannya, sejak Indonesia belum merdeka hingga UU Pesantren disahkan pada tahun 2019,” ujarnya.

“Saya melihat dari anggota Majelis Masyayikh yang terpilih, tidak ada yang berasal dari pesantren dengan pola pendidikan mualimin. Padahal itu diakui oleh UU Pesantren, dan faktanya banyak juga Pesantren dengan pola Muallimin itu,” tambahnya.

Menurut Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), peraturan perundang-undangan memang tidak secara spesifik mengatur harus adanya keterwakilan tersebut. Tetapi di negara Pancasila yang mempraktekkan demokrasi, dan Agama Islam yang perintahkan pemenuhan keadilan, tentu saja asas perwakilan dan musyawarah yang ada dalam sila keempat Pancasila harus dirujuk. Dan  hal itu perlu dikedepankan sebagai konsekuensi logis dan kelaziman aturan hukum dari adanya klasifikasi tiga jenis pendidikan Islam. Yaitu  pesantren yang diakui oleh UU dan juga oleh Negara (Kementerian Agama). Apalagi, Majelis Masyaikh diberi kewenangan oleh UU dan peraturan pelaksananya untuk melaksanakan tugas yang sangat mendasar dan penting terkait dengan Pesantren.

Pasal 29 UU Pesantren menyebutkan Majelis Masyayikh memiliki tugas, sebagai berikut, menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren, memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren, merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan Pesantren dan  merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan. Juga   melakukan penilaian serta  evaluasi dan pemenuhan mutu. Serta memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah Santri yang dikeluarkan oleh Pesantren. Pasal ini niscaya menjadi pasal yang dirujuk sebagai rincian atas pasal 20 ayat 2 yang membatasi tapi tidak singkron dengan 3 jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren.

“Dengan kewenangan dan tugas yang sangat strategis, penting dan mencakup semua jenis Pesantren tersebut, maka sudah sewajarnya bila anggota majelis masyayikh merepresentasikan semua jenis pesantren yang ada dan diakui dalam UU Pesantren,” tukasnya.

Oleh karena itu, HNW berharap Menteri Agama dan AHWA segera mengkoreksi kebijakannya dengan menambahkan jumlah anggota Majelis Masyayikh agar merepresentasikan 3 jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Apalagi, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren menyebutkan bahwa Majelis Masyayikh minimal terdiri dari 9 orang dan maksimal 17 orang. Dan  sekarang baru ditunjuk 9 orang saja, yang kemungkinan baru mewakili 2 dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh UU.  Dan secara nyata ada serta diakui kiprahnya oleh Masyarakat.

“Saat ini sudah ditetapkan 9 orang anggota Majelis Masyaikh. Maka demi kemaslahatan Pesantren dan tegaknya UU secara adil dan benar, sewajarnya bila Menag dan AHWA melakukan koreksi dan perbaikan, dengan menambahkan anggota Majelis Masyaikh hingga  dapat memenuhi asas keadilan dan representasi semua jenis pesantren yang diakui di dalam UU Pesantren. Agar Majelis Masyaikh dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara baik dan benar untuk berkhidmat kepada semua jenis Pesantren, bukan hanya untuk sebagian jenis Pesantren saja, dengan mengesampingkan  jenis Pesantren lain yang sama kedudukannya dihadapan hukum yaitu UU Pesantren,” pungkasnya.


Anggota Terkait :

Dr. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A.