image

Karantina Bernilai Ekonomi

Jumat, 24 September 2021 14:27 WIB

Oleh: Prof. Dr. Ir. Fadel Muhammad (Wakil Ketua MPR RI) 

Tren penambahan kasus Covid-19 harian makin turun dalam dua bulan terakhir. Sejak rekor tertinggi pada 15 Juli 2021 yang mencapai penambahan 56.757 kasus, pada akhir Agustus 2021 penambahannya menjadi sebesar 10.000-an per hari. Memasuki pertengahan kedua bulan September 2021 penambahannya bahkan berada pada kisaran 3.000-an kasus per hari. Optimisme bahwa Covid-19 makin bisa dikendalikan terus mengemuka, suatu hasil kerja keras Presiden Jokowi dan pembantu-pembantunya. 

“Mengendalikan” memang merupakan langkah optimal yang bisa dicapai ketimbang menghilangkannya seratus persen. Banyak ahli yang memperkirakan bahwa virus Corona mungkin tidak akan benar-benar hilang dari muka bumi. Oleh karena itu hal yang paling rasional adalah bagaimana beradaptasi dengan keadaan di mana kita hidup berdampingan dengan virus Corona dan berbagai bentuk variannya.  

Hidup berdampingan dengan virus ini tidak akan menakutkan sepanjang kita disiplin mengikuti protokol kesehatan. Apalagi kita sudah berpengalaman menjalani hidup seperti demikian. Pada tahun 1980-an terjadi epidemi virus HIV (human immunodeficiency virus) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Dalam stadium yang akut HIV menyebabkan seseorang menderita AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).  

HIV/AIDS telah menyebabkan ketakutan di dunia. Pada masa-masa awal epidemi, orang-orang takut bersosialisasi karena khawatir tertular dari orang yang tidak diketahuinya membawa virus HIV. Jumlah korbannya pun sangat tinggi. Menurut catatan WHO, sekitar 80-an juta orang di seluruh dunia menjadi penderita HIV/AIDS sejak penyakit itu muncul pertengahan 1981. Sebanyak 36 juta di antaranya meninggal dunia. Saat ini masih ada sekitar 37 juta orang di seluruh dunia yang menderita HIV/AIDS dan penambahannya masih terjadi. Dulu penderita HIV/AIDS dikucilkan karena masyarakt lainnya takut tertular, sekarang masyarakat hidup berdampingan dengan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) karena tahu bagaimana menghindari HIV/AIDS. Padahal dibanding dengan Covid-19 yang tingkat kematiannya di dunia saat ini sebesar sekitar 2%, HIV/AIDS pernah memiliki tingkat kematian sebesar 47% pada tahun 2010. 

Tren penurunan penambahan kasus harian Covid-19 memang tidak boleh disambut dengan euforia karena bagaimana pun ancamannya masih besar. Terlebih-lebih penyebaran varian SARS-CoV-2 (penyebab Covid-19) lebih membahayakan karena lebih cepat menyebar, lebih mematikan, dan lebih bandel terhadap vaksin. Namun, apakah kita harus tetap menunggu? Sampai kapan? 

Disiplin Tinggi, Ekonomi Naik 

Jika virus ini tidak mungkin hilang, kondisi seperti apa yang bisa dianggap normal sehingga kegiatan kehidupan kembali ke suasana normal? Saat ini belum ada jawaban yang tepat karena masih liarnya tingkat penyebaran Covid-19. Namun bahwa kita harus siap hidup berdampingan dengan virus ini dan berdampingan dengan mereka yang terinfeksi virus mungkin perlu terus dikampanyekan karena sulit ditawar. Patokannya adalah disiplin dalam penerapan protokol kesehatan (prokes). 

Penerapan disiplin memang kunci suksesnya. Belajar dari sejumlah negara dan juga dari peningkatan kasus di Indonesia, ketika disiplin kendor kasus meningkat. Di AS ketika sektor ekonomi didorong antara lain dengan membuka kembali bar, restoran, hotel, dan sebagainya, ternyata diikuti dengan kendurnya disiplin prokes (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan). Bahkan untuk sebagian kalangan ada yang memprotes penggunaan masker dengan menganggap memakai masker atau tidak memakai masker merupakan hak individu. Terbukti hingga kini penambahan kasus Covid-19 di AS masih yang tertinggi di dunia. 

Sektor ekonomi adalah masalah yang harus secepatnya dinormalisasi di Indonesia tentunya dengan pertimbangan yang matang yang disinergikan dengan perkembangan penanganan Covid-19. Memang sekarang pun kegiatan ekonomi sudah mulai ditingkatkan dan terbukti Indonesia sudah keluar dari resesi. Keberhasilan meningkatkan kegiatan ekonomi secara terbatas yang berlangsung di tengah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) tampaknya cukup efektif. Tentu di tengah-tengah program ini yang on the track dibutuhkan inovasi-inovasi lain baik nasional maupun lokal. 

Karantina ala Sandi Uno 

Saya menyoroti ide menarik yang dilontarkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno bahwa untuk mendorong ekonomi Bali, program karantina bisa dilakukan di hotel atau resor dengan pendekatan baru. Menurut Menparekraf, orang yang dikarantina tidak berlu harus tinggal di dalam kamar hotel atau resor, tetapi bisa keluar dari kamar dan berkegiatan di lingkungan hotel atau resor tempat karantina. Hal ini dinilai akan mendongkrak ekonomi Bali terutama dalam menyambut kedatangan wisatawan asing. 

Saat ini penerbangan dari luar negeri ke Bali masih ditutup. Jika nanti dibuka, warga negara asing (WNA) atau WNI yang baru tiba harus menjalani masa karantina. Tempat karantina tergantung kategori WNA dan WNI. Bagi pejabat bisa dikarantina di tempat khusus, sedangkan untuk masyarakat umum bisa berupa hotel atau resor. Berdasarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19 yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19, WNA dan WNI yang tiba dan setelah tes PCR hasilnya negatif, harus menjalani karantina selama 5 hari. 

Waktu 5 hari itu cukup panjang dan membosankan jika harus terkurung di dalam kamar. Ini juga bisa menjadi faktor malasnya wisatawan asing datang ke Bali. Mungkin akan berbeda jika ada tawaran seperti ide Menparekraf itu. WNA masih bisa berkegiatan lebih luas di lingkungan hotel dan resor yang ditunjuk sebagai tempat karantina selama tetap menjalankan prokes. Mereka bisa makan di restoran, membeli suvenir, atau Tik-Tok-an (bersosial media). Semua itu membuat kegiatan ekonomi di hotel dan resor bisa berjalan.  

Jika ide itu bisa dijalannya, seharusnya memberikan daya tarik bagi WNA untuk berkunjung ke Bali. Untuk itu perlu disiapkan berbagai peraturan pendukungnya karena untuk bisa berdisiplin menerapkan prokes, butuh pengawasan yang ketat. Jika di Bali berhasil, bisa diterapkan di daerah lainnya. Artinya, dengan menegakkan disiplin tinggi, ekonomi pun akan naik.###


Anggota Terkait :

Prof. Dr. Ir. FADEL MUHAMMAD