image

Kritik Perppu Cipta Kerja, HNW: Seharusnya Presiden Laksanakan Putusan MK, Bukan Malah Membuat Perppu yg Dinilai Abaikan MK

Senin, 02 Januari 2023 12:44 WIB

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menyampaikan bahwa NKRI sesuai ketentuan Konstitusi adalah negara hukum, maka sewajarnya bila hukum jadi panglima bukan kekuasaan. Maka bila Presiden Joko Widodo jika perlu membuat Perppu, lebih sesuai bila menerbitkan Perppu (Peraturan pemerintah penganti undang-undang) untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat, apabila merasa tidak mampu mentaati putusan MK secara komprehensif, atau melaksanakan keputusan MK sepenuh hati dengan intensif mengajak DPR untuk segera melaksanakan putusan MK tersebut. Bukan malah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai oleh banyak pakar sebagai tindakan yang mengabaikan putusan MK, padahal putusan MK sesuai ketentuan UUDNRI 1945 adalah final dan mengikat.

HNW sapaan akrabnya melanjutkan MK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan konstitusional untuk mengawal konstitusi telah memutuskan agar  Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki proses penyusunan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat, salah satunya, karena tidak adanya meaningful participation (partisipasi masyarakat yang bermakna). Namun, bukannya segera melaksanakan putusan MK dengan membahas revisi UU itu bersama DPR, Presiden secara sepihak malah menerbitkan Perppu no 2/2022.

“Terbitnya Perppu itu justru membuktikan kembali bahwa “meaningful participation” yg diputuskan oleh MK dan menjadikan UU Ciptakerja sebagai inkonstitusional bersyarat, tidak dilaksanakan. Sekarang bukan hanya masyarakat yang tidak dillibatkan, bahkan DPR selaku lembaga perwakilan rakyat pun, tidak diajak untuk membahas substansi dan praktek revisi yang diputuskan oleh MK itu. Ini jelas bukan bentuk pelaksanaan yang baik dan benar terhadap putusan MK,” ujarnya melalui siaran pers di Jarkata, Senin (2/1).

Memang, lanjut HNW, pada masa sidang terdekat, DPR akan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Perppu tersebut. “Maka akan mustahil apabila DPR diminta mengkaji dan menyetujui dengan baik dan benar terhadap Perppu yang terdiri dari 186 pasal yang ‘beranak pinak’ dan 1.117 halaman itu dalam waktu yang sangat sempit. Padahal waktu yang disediakan MK untuk merevisi UU itu masih tersedia. Karena MK memberikan batas waktu luang dua tahun (hingga 25 November 2023), agar revisi UU Cipta Kerja itu dibahas secara matang dan komprehensif, dengan memaksimalkan keterlibatan publik sebagaimana putusan MK itu,” tukasnya.

HNW menambahkan bahwa penerbitan Perppu No 22/2022 ini juga tidak sesuai dengan syarat untuk bisa diterbitkannya Perppu. Aturan itu ada dalam Konstitusi/UUD NRI 1945 pasal 22 ayat (1) yakni adanya kegentingan yang memaksa. Walaupun secara teori, tafsir kegentingan yang memaksa itu adalah penilaian subjektif presiden, tetapi common sense dan pada prakteknya tentu harus didukung dengan argumentasi yang legal rasional, dan kemudian perlu diuji secara objektif oleh DPR. Sementara MK sendiri juga sudah pernah memberikan rambu-rambu soal kategorisasi kegentingan yang memaksa sebagai alasan bisa dikeluarkannya Perppu. Hal itu tertuang pada Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:

Pertama, adanya keadaan genting yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk segera diselesaikan.

“Perppu Cipta Kerja ini jelas tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh putusan MK tersebut. Karena substansi UU Cipta Kerja itu merevisi banyak UU yang lama, sehingga sejatinya tidak ada kekosongan hukum sama sekali. Dan negara ini tetap bisa berjalan dengan baik tanpa adanya UU Cipta Kerja tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut, HNW yang wakil Ketua Majelis Syura PKS ini juga mengkritik “argumentasi dinamika global yang menyebabkan kenaikan harga energi dan pangan, perubahan iklim hingga penurunan pertumbuhan ekonomi dunia” yang menjadi beberapa alasan kegentingan memaksa dalam Perppu tersebut. “Kondisi itu bukan kegentingan yang memaksa, karena tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Joko Widodo sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik di antara anggota G-20. Apalagi dengan kengototan presiden Jokowi yang tetap ingin memindahkan Ibukota, yang menyiratkan tiadanya kegentingan memaksa itu. Bahkan oleh Pemerintah UU IKN ingin direvisi agar APBN dapat dipakai untuk membangun IKN. Ini semua menunjukkan tidak adanya kegentingan memaksa untuk diterbitkannya Perppu,” ujarnya.

Apalagi dahulu, sesudah UU Cipta Kerja disahkan di DPR, sekalipun ada penolakan dari PKS, Presiden Jokowi pernah menyatakan tidak akan mengeluarkan Perppu, dan sesudah MK mengeluarkan keputusannya, Pemerintah menyatakan tidak mengeluarkan Perppu tapi akan merevisi UU sebagaimana keputusan MK. Komitmen itu yang  harusnya  diwujudkan, bukan malah inkonsisten dengan menerbitkan Perppu,” tambahnya.

Oleh karena itu, sebagaimana kritik dari para pakar, HNW juga berpendapat DPR sewajarnya menolak Perppu tersebut, dan mendesak Pemerintah bersama DPR untuk segera merevisi UU Cipta Kerja sebagaimana putusan MK. “DPR sebagai lembaga yang menilai objektifitas diterbitkannya Perppu harus nya bersikap objektif dan sesuai dengan putusan MK, dengan menolak Perppu tersebut, walau di parlemen mayoritas adalah partai pendukung pemerintah. Dan wajarnya Rakyat dan Masyarakat sipil, serta para pakar juga ikut mengawasi proses pembahasan dan penolakan Perppu itu oleh DPR,” ujarnya.

Selanjutnya, MK juga diharapkan konsisten dengan putusannya apabila Perppu ini berujung kepada pengajuan judicial review oleh para Pakar ke MK. Karena banyak pakar dan komponen sipil sudah menyampaikan bila Perppu itu disetujui juga oleh mayoritas Fraksi di DPR, maka mereka akan  menguji Perppu bermasalah ini ke MK. “Konsitensi dan marwah MK dipentingkan, karena MK pernah menyatakan suatu Perppu sebagai inkonstitusional, seperti UU No. 4/2014 tentang Penetapan Perpu No. 1/2013 yang dinyatakan inkonstitusional karena tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Harusnya para hakim MK nantinya juga berani menyatakan kebenaran serupa terkait Perppu Cipta Kerja ini. Agar marwah Indonesia sebagai Negara Hukum tetap terjaga, agar Masyarakat mudah diajak untuk menaati hukum dan melaksanakannya, karena keteladanan positif yang diberikan oleh Negara dan disaksikan oleh para warga Negara,” pungkasnya.


Anggota Terkait :

Dr. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A.