image

Penahanan Empat IRT Akhirnya Ditangguhkan, Gus Jazil: Hukum Jangan Tajam ke Bawah

Selasa, 23 Februari 2021 09:59 WIB

JAKARTA - Kejaksaan Negeri (Kejari) Praya, Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya menangguhkan penahanan empat ibu rumah tangga (IRT) warga Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, NTB yang sempat mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Praya sejak Rabu (17/2/2021).

 

Penahanan mereka ditangguhkan setelah pihak Kejaksaan mendapat perintah dari hakim Pengadilan Negeri (PN) Praya dalam  sidang perdana kasus tersebut pada Senin (22/2/2021).


Sebelumnya, penahanan keempat IRT tersebut menjadi perbincangan publik setelah dua di antara IRT yang ditahan, mengajak serta dua anak mereka yang masih balita ke dalam tahanan karena masih menyusui.


Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengingatkan bahwa hukum harus ditegakkan secara adil. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.


"Kasus tersebut menjadi contoh gagalnya pemahaman dari salah satu aparat penegak hukum Kejari Praya untuk menerapkan yang disebut restorative justice, hukum yang memang mendasarkan pada rasa keadilan. Ketika akhirnya penahanan ditangguhkan, menurut saya itu langkah yang tepat," ujarnya, Selasa (23/2/2021).


Menurutnya, restorative justice adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban.


Anggota Komisi III DPR ini mengatakan, apa yang terjadi di Kejari Praya tersebut semakin menambah daftar bahwa hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Padahal, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sejak menjalani fit and proper test, begitu pula Jaksa Agung ST Burhanuddin, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak boleh hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.


"Semestinya kasus seperti ini bisa dijadikan contoh untuk penerapan restorative justice yang sekarang sudah diatur melalui peraturan Kejaksaan Agung. Kami berharap Jaksa Agung supaya ada pembinaan kepada aparaturnya agar apa yang menjadi niat baik Jaksa Agung agar hukum memberikan rasa keadilan, tidak hanya tajam ke bawah itu juga diimplementasikan oleh aparaturnya yang ada di bawah," tutur Gus Jazil.


Dia berharap semua aparatur penegak hukum agar tidak menerapkan pola penegakan hukum yang secara kasat mata melukai rasa keadilan. "Belum tentu apa namanya orang itu tidak bersalah, kita pasti ada proses hukumnya. Tetapi jangan terlalu. Jangan terlihat sangat agresif untuk kasus-kasus yang kecil, tetapi pelakunya itu kelompok lemah, ibu-ibu, orang tua renta seperti kasus Nenek Minah yang dihukum hanya karena memetik tiga buah kakau, itu semakin memperlihatkan wajah hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah," katanya.


Karena itu, Gus Jazil berpesan agar revisi undang-undang Kejaksaan yang baru supaya lebih tegas penerapannya, termasuk juga hukum acara pidananya. "Sekarang yang perlu diperlihatkan oleh aparat penegak hukum bahwa hukum itu mendasarkan pada rasa keadilan. Kalau korban ibu-ibu masih menyusui dipaksa ditahan, kemudian dibawa ke penjara dan terpaksa membawa anaknya, dimana rasa keadilannya?" katanya.


Gus Jazil menegaskan bahwa hal tersebut menunjukkan hal itu sebagai salah satu contoh gagalnya pemahaman dari aparat penegak hukum untuk menerapkan restorative justice.


Diketahui, empat perempuan asal Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, harus mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Praya sejak Rabu (17/2/2021). Mereka ditahan karena dilaporkan melempar pabrik tembakau UD Mawar, milik Suhardi di Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah pada 26 Desember 2020.


Akibat aksi pelemparan batu itu, pabrik rokok itu disebut menderita kerugian Rp 4,5 juta.
Akibat kasus tersebut, keempatnya disangkakan Pasal 170 ayat (1) KUHP dengan ancaman hukum penjara 5 tahun 6 bulan. (*)


Anggota Terkait :

H. JAZILUL FAWAID, S.Q., M.A.