image

Hidayat Nur Wahid : ”Santri Harus Setia Pada 3 Ibu; Ibu Kandung, Pondok Sebagai Ibu dan Ibu Pertiwi

Senin, 16 Desember 2019 17:04 WIB

 


Di hadapan puluhan ulama muda, peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (Unida), Gontor, Ponorogo Jawa Timur, Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA, menegaskan keberadaan pesantren di Indonesia ditujukan agar warganya berkhidmat pada negara. Bukan malah sebaliknya, berkhianat dengan negara. Karena itu seluruh santri harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan. Agar bisa berperan di segala aspek kehidupan.

Peran serta warga pesantren terhadap negara, menurut Hidayat sudah dicontohkan oleh para ulama dalam ikut mendirikan dan membangun bangsa Indonesia. H. Mutahar misalnya, dia seorang habaib yang menciptakan lagu syukur dan hari merdeka. Lagu syukur dipopulerkan pada Januari 1945, untuk memberikan peringatan kepada bangsa Indonesia agar mensyukuri, kemerdekaan yang saat itu masih diperjuangkan. Sedangkan hari merdeka dipopulerkan pada 1946, untuk memeriahkan satu tahun kemerdekaan Indonesia.

“Di pondok dikenal ada tiga ibu. Yang pertama adalah ibu kandung, kedua Ibu Pondok dan ketiga adalah Ibu pertiwi Indonesia. Bagi semua santri, ketiga ibu itu senantiasa dipatuhi, tidak ada satupun yang boleh dikhianati. Para santri wajib berkhidmat dengan tulus ikhlas kepada ketiga ibunya,” kata Hidayat Nur Wahid menambahkan.

Pernyataan itu dikemukakan Hidayat Nur Wahid, saat menerima puluhan ulama muda, peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) ke 13, Universitas Darussalam (Unida), Gontor, Ponorogo Jawa Timur. Acara tersebut berlangsung di Ruang GBHN, Komplek Parlemen Jakarta, Senin (16/12). Ikut hadir pada pertemuan tersebut Nurhadi Ihsan, MIRKH (Direktur UNIDA Kampus Putri), Hasib Amrullah, M.Ud (Pembimbing PKU), dan Adib Fuadi Nuriz, M.Phil. (Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UNIDA)

Selain H. Mutahar kata Hidayat, para ulama lain juga berkiprah dalam menyelamatkan bangsa Indonesia. Pada 17 Agustus 1945 sore hari selepas proklamasi misalnya, datang utusan dari Indonesia Timur yang menyatakan keberatan terhadap sila pertama Piagam Jakarta. Menurut mereka, tujuh kata pada sila tersebut tidak menghargai komunitas lain selain masyarakat muslim.

Mendengar keberatan tersebut, KH. Wahid Hasyim, beserta Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhamad Hasan dan Mr. Kasman Singodimejo melakukan rapat kilat. Hasilnya, mereka memutuskan menerima keberatan tersebut. Dan mengubah sila pertama Piagam Jakarta menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti bunyi sila pertama Pancasila saat ini.

Selain nama-nama, tersebut menurut Hidayat masih banyak lagi ulama yang telah berbakti kepada bangsa Indonesia. Seperti Panglima Besar Soedirman dia adalah seorang ulama, yang mendirikan cikal bakal TNI. Soedirman lah orang yang mengusulkan kepada Soekarno untuk meminta bantuan para kyai, dalam menghadapi kedatangan Belanda, karena saat itu jumlah tantara masih sangat terbatas.

“Tak boleh dilupakan pula jasa KH. Hasyim Asyari, pencetus Resolusi Jihad. Juga Moh. Natsir yang mengembalikan NKRI, setelah Indonesia sempat berubah menjadi RIS. Tidak itu saja, warga muslim Indonesia telah mempelopori perjuangan melalui pergerakan. Itu terbukti dengan berdiri Jamiatul kheir pada 1901, jauh sebelum Boedi Utomo,” kata Hidayat menambahkan.

Karena itu, menurut Hidayat selain tidak boleh melupakan sejarah (jas merah), masyarakat juga tidak boleh melupakan Jas Hijau (Jangan Sekali-kali Menghilangkan Jasa Ulama). Ini penting, agar ke depan tidak ada lagi pihak yang mendiskreditkan umat Islam. Sebaliknya, tidak ada pula umat Islam yang hendak menghancurkan negaranya sendiri.


“Kita patut mengetahui sejarah secara utuh. Jangan hanya mau mengambil sebagian saja, dan melupakan sebagian lainnya. Ini penting untuk menghindarkan kesalah pahaman. Mana mungkin ada umat Islam yang hendak menghancurkan bangsanya sendiri, jika dia tahu bahwa para ulama ikut memperjuangkan dan membangun bangsa Indonesia,” kata Hidayat lagi.