image

Pakar : UUD NRI Tahun 1945 Tidak Mengenal Istilah Oposisi

Senin, 01 Juli 2019 17:00 WIB

Dihadapan puluhan wartawan parlemen, Anggota Fraksi PKS MPR RI, Mardani Ali Sera menegaskan, keputusan partainya untuk menjadi oposisi atau tidak, merupakan kewenangan Majelis Syuro. Karena itu, Mardani tidak berani mendahului, sikap partai apakah akan mendukung atau menjadi kekuatan peyeimbang bagi Pemerintah.

Yang pasti, berdasarkan masukan para kader, pendukung dan masyarakat, sebagian besar mengharap, kami bisa istikhomah menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintahan. Melaksanakan fungsi check and balance, sebagai oposisi yang kritis dan konstruktif.

“Oposisi itu pilihan sikap yang mulia. Bahkan, sekecil apapun jumlahnya, jika dia melakukannya secara cerdas, maka bisa efektif. Lihatlah kisah cicak versus buaya, siapa menyangka cicak akan menang. Tapi karena rakyat mendukung, maka hasilnya bisa lain”, kata Mardani menambahkan.

Pernyataan itu disampaikan Mardani Ali Sera, saat menjadi narasumber pada diskusi empat pilar. Acara tersebut berlangsung di press room, wartawan parlemen pada Senin (1/7). Selain Mardani dialog yang mengetengahkan tema &singlequote;Demokrasi Pancasila, Rekonsiliasi Tak Kenal Istilah Oposisi, juga menghadirkan narasumber Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Juanda.

Menurut Mardani, dalam berpolitik para elit perlu menjaga etika dan rasionalitas. Tanpa etika dan rasionalitas, demokrasi akan terhenti di tengah jalan. Karena itu, Mardani tetap berharap pasca pemilu, Prabowo bisa bertemu dengan Joko Widodo, sekaligus menyatakan akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah.

“Kalau semua Partai mendapat jatah kursi, ini namanya akuisisi, bukan rekonsiliasi. Kalau tidak ada oposisi, publik akan merugi, dan itu akan melahirkan neo orde baru”, kata Mardani menambahkan.

Pendapat serupa disampaikan pakar Hukum Tata Negara Prof. Juanda. Menurutnya, dalam Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dikenal istilah oposisi. Yang ada adalah fungsi oposisi, sebagai kelompok penyeimbang pemerintah. Dan itu dilakukan oleh partai di luar penguasa, beserta civil society.

“Ada gejala, kelompok penyeimbang ini akan semakin kecil setelah beberapa partai Koalisi Adil Makmur menyeberang. Kondisi seperti ini sebenarnya patut disayangkan, karena kekuasaan yang menumpuk dalam satu tangan namanya tirani”, kata Prof. Juanda menambahkan.

Kalau benar kelompok penyeimbang, itu hanya dilakukan PKS dan Gerindra, atau sebesar 22 persen, menurut Juanda akan kurang efektif. Karena jumlah kelompok pendukung pemerintah sangat besar mencapai 78 persen. Karena itu, Juanda berhadap partai-partai yang mendukung Prabowo-Sandi tetap pada posisinya, sebagai penyeimbang pemerintah.

“Ini memperlihatkan kondisi demokrasi yang tidak sehat, sekaligus menunjukkan bahwa elit politik belum menunjukkan sikap konsisten dalam mengambil pilihan politik. Padahal, kalau Partai yang tergabung dalam Koalisi Adil Makmur eksis seperti dukungannya pada pemilu, hal itu akan menyehatkan demokrasi kita. Tetapi, kalau oposisi itu hanya diisi oleh PKS, itu akan menjadi modal sosial yang besar bagi PKS pada pemilu 2024”, kata Juanda lagi.