image

Pimpinan Badan Pengkajian (Fahira Idris) Buka Seminar ”Gagasan Menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Nega

Senin, 02 Desember 2019 14:19 WIB

Surabaya - Hari Ini, Senin (02/12/2019) Badan Pengkajian MPR RI menggelar seminar bersama Laboratorium Hukum Tata Negara (LHTN) Universitas Surabaya (UBAYA). Seminar ini membahas tema utama berjudul “Gagasan Menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara”.  Seminar ini dihadiri para staf pengajar dari lingkungan Fakultas Hukum UBAYA, Fakultas Hukum Universitas lainnya, Perkumpulan Mahasiswa Hukum Indonesia, Asosiasi Dosen Hukum Tata Negarav/ Hukum Administrasi Negara Jawa Timur dan para mahasiswa Fakultas Hukum UBAYA. Sedangkan dari pihak Badan Pengkajian MPR RI diwakili oleh Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI (BP MPR), Fahira Idris beserta beberapa Anggota BP MPR lainnya.

Menurut Fahira Idris, seminar ini merupakan forum untuk mendiskusikan diskursus rencana amandeman terbatas UUD NRI Tahun 1945  yang saat ini tengah hangat menjadi perbincangan khususnya keinginan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

“Jika kita pantau dan baca pemberitaan media massa, wacana terkait GBHN selalu menjadi ulasan menarik. Kenapa menarik? Karena banyak kalangan menilai menghidupkan kembali GBHN secara tidak langsung maupun langsung akan berkonsekuensi kepada ketentuan-ketentuan lain dalam konstitusi kita terutama terkait sistem dan mekanisme pemilihan umum kita,” jelas Fahira.

Fahira Idris menambahkan, saat ini, tengah terjadi beragam pemikiran yang berkembang di MPR RI, khususnya mengenai gagasan mereformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN, yang pada awalnya direkomendasikan oleh MPR RI masa jabatan 2009-2014.

“Rekomendasi itu ditindaklanjuti oleh MPR masa jabatan 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan ‘perubahan terbatas’ terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu dengan mengembalikan wewenang MPR RI untuk menetapkan GBHN atau Pokok-Pokok Haluan Negara”, tegas Fahira Idris.

Namun, sampai menjelang berakhirnya masa jabatan MPR RI periode 2014-2019, gagasan melakukan “perubahan terbatas” terhadap Undang-Undang Dasar ini tidak dapat dilakukan, karena tidak terpenuhinya syarat sebagaimana diatur di dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tidak terbangunnya konsensus politik di antara fraksi-fraksi dan juga Kelompok DPD.  Oleh karena itu, MPR RI masa jabatan 2014-2019 merekomendasikan kembali kepada MPR RI masa jabatan 2019-2024 untuk ditindaklanjuti.

Sejalan dengan itu memang harus diakui, lanjut Fahira, diskursus GBHN dalam amandemen konstitusi kita menjadi pro kontra di tengah-tengah masyarakat yang terbilang wajar. Oleh karena itu, Badan Pengkajian MPR RI intensif menjaring pendapat terkait amandemen konstitusi terutama kaitannya dengan menghidupkan kembali GBHN. Kita berharap amandemen konstitusi nanti nafasnya masih selaras dengan amanat reformasi dan ketentuan negara demokrasi.

“Saya berharap, hasil dari seminar ini memperkaya khazanah kita dan menjadi salah satu referensi untuk MPR RI agar amandemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 menyentuh hal-hal substansif yang menjadi persoalan bangsa saat ini dan ke depan,” kata Fahira Idris diakhir pidato kuncinya.

Pada bagian lain Rektor UBAYA, Benny Lianto, menyambut baik kerjasama ini. Ia menginginkan pembahasan dalam seminar ini menjadi hal yang penting dan strategis di masa depan serta memberikan manfaat bagi kita semua.

“Saya berharap pembahasan di dalam seminar ini bisa dihadirkan pemikiran-pemikiran baru, terobosan yang sangat dibutuhkan dan cocok bagi keberlanjutan pengelolaan bangsa dan negara ke depan,” tegas Benny Lianto.

Hadir sebagai pembahas adalah Suko Wiyono, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang; Hesti Armiwulan,  Ketua LHTN UBAYA; dan Martono, Dosen UBAYA. Sedangkan Anggota Badan Pengkajian yang terlibat langsung dalam diskusi di seminar ini adalah Darmadi Durianto, Panggah Susanto,  Sodik Mudjahid, Heri Gunawan, Guntur Sasono, Mamberop Yosephus Rumakiek, dan Novita Anakota.