image

MPR : Semua Pihak Harus Menjaga dan Merawat Kebhinnekaan

Senin, 04 Maret 2019 18:05 WIB

Kebhinnekaan adalah sebuah keniscayaan. Kita memang bhinneka dan berbeda. Tapi dengan kebhinnekaan itu Indonesia semakin kuat. Karena itu penting bagi semua pihak untuk menjaga dan merawat kebhinnekaan.

Demikian rangkuman dari Diskusi Empat Pilar MPR bertema “Merawat Kebhinnekaan Indonesia” di Media Center Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/3/2019). Diskusi kerjasama MPR dan Pengurus Koordinatoriat Wartawan Parlemen ini menghadirkan narasumber anggota Fraksi PDIP MPR, Masinton Pasarribu, juru bicara PBNU, Nabil Haroen, dan pengamat politik Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago.

Masinton Pasaribu mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia lahir dari konsensus bersama. “Sejak awal negara kita dirancang untuk semua, baik berbagai suku, adat istiadat, agama dan keyakinan yang berbeda. Karena itu sesungguhnya kita tidak mengenal warga negara kelas dua. Semuanya sama karena negara ini didirikan untuk semua,” katanya.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, baik NU dan Muhammadiyah menjadi bagian dari pemilik saham terbesar bangsa ini. “Karena itu NU dan Muhammadiyah punya kewajiban menjaga bangsa dan negara ini langgeng dengan prinsip kebangsaan, yaitu negara untuk semua meskipun memiliki latarbelakang yang berbeda,” ujarnya.

Masinton mengingatkan dalam merawat kebhinnekaan itu ada upaya dari sekelompok kecil yang melakukan gerakan-gerakan seperti apa yang terjadi di Timur Tengah. “Gerakan itu bukan tidak ada, tapi gerakan itu ada meski kecil. Misalnya, kasus bom bunuh diri,” ucapnya. Karena itu dia menegaskan lagi bahwa Indonesia ini didirikan untuk semua dengan konsepsi Pancasila. Hal ini harus dijaga dan dirawat.

Sementara itu juru bicara PBNU, Nabil Haroen juga mensinyalir akhir-akhir ini ada upaya yang dilakukan segelintir orang untuk membuat polarisasi di negeri ini. “Tidak hanya saat Pemilu Presiden (Pilpres). Tapi sudah ada sebelumnya. Mereka ingin memecahbelah dan mengkotak-kotakan sehingga terjadi benturan-benturan di masyarakat,” ungkapnya.

Juru bicara NU itu menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) akan selalu dan terus berjuang dalam menjaga NKRI. Dari sejarah NU, mulai dari pra kemerdekaan sampai sekarang, terlihat komitmen terhadap Indonesia. “Sampai kapan pun NU dan badan-badan di bawahnya akan selalu menjaga kebhinnekaan Indonesia,” tuturnya.

Dia juga menyinggung keputusan Munas NU di Banjar soal kafir. “Dalam berbangsa tidak dikenal kafir, tetapi sebagai sesama anak bangsa. Ini sesuai dengan ajaran NU, ukhuwah wathoniah, yaitu persaudaraan sesama anak bangsa. Keputusan ini adalah salah satu upaya dan komitmen NU terhadap kebangsaan. Urusan teologi ada di kamar masing-masing, tetapi sebagai anak bangsa kita menyebutnya sesama warga negara,” jelasnya.

Pengamat politik Pangi Syarwi Pangi mengatakan kebhinnekaan itu adalah sebuah keniscayaan. “Kita memang bhinneka dan berbeda. Tapi dengan kebhinnekaan itu, Indonesia malah semakin kuat,” katanya.

Dalam hal kebhinnekaan, lanjut Pangi, kita tidak perlu mengajarkan orang Indonesia tentang toleransi. “Bahkan NU dan Muhammadiyah tidak mau lagi diajarkan soal toleransi. Karena kedua organisasi besar itu sudah clear tentang pluarisme, kebhinnekaan, dan keIndonesiaan. Kalau kita ajarkan ormas itu tentang toleransi keberagamaan, kita jadi mundur lagi,” ujarnya.

Namun, Pangi menyebutkan saat ini ada fenomena yang membenturkan antara nasionalisme dan Islam. Juga dihadap-hadapkan antara “Saya Pancasila” dan “Tidak Pancasila”, “Toleran” dan “Intoleran”, Nasionalisme dan Islam (Radikal). “Antara yang paling Pancasila dan tidak Pancasila. Antara yang paling toleran dan tidak toleran. Antara yang nasionalis dan Islam. Ini dibenturkan terus menerus. Ini sangat berbahaya. Sampai kapan ini bisa selesai?,” tanyanya.

“Biasanya kalau sudah dibelah-belah seperti ini agak susah. Recoverinya agak lama. Kita tidak selesai ber-Pancasila, bertoleransi. Marilah kita bernarasi tentang keadilan, kesejahteraan, kebangsaan, Merawat keIndonesiaan, kebhinnekaan itu penting,” imbuhnya.