image

Hidupkan Kembali Koperasi sebagai Bagian dari Pembangunan Perekonomian Nasional

Rabu, 12 Juli 2023 20:00 WIB

Menghidupkan kembali koperasi sebagai bentuk inovasi dan bagian dari proses pembangunan perekonomian nasional merupakan sebuah keniscayaan.

"Koperasi saat ini bisa jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat. Karena koperasi punya rekam jejak yang kuat dalam ikut serta membangun perekonomian bangsa," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Koperasi di Tengah Badai Ekonomi yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (12/7).

Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pelita Harapan) itu menghadirkan H.P. Martin Y Manurung, S.E., M.A. (Wakil Ketua Komisi VI DPR RI), Aditya Putra (Kepala Bidang Kelembagaan Koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM RI) dan Nailul Huda (Ekonom INDEF/Institute for Development of Economics and Finance), sebagai narasumber.

Selain itu, juga hadir Titis Nurdiana (Wakil Pemimpin Redaksi KONTAN) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, bila dikelola dengan baik dan menjadi bagian dari perencanaan pembangunan, koperasi bisa memberi daya ungkit bagi pembangunan ekonomi nasional.

Apalagi, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, kiprah koperasi saat pandemi bersama sektor UMKM mampu menjadi salah satu jalan keluar bagi perekonomian masyarakat.

Menurut Rerie yang merupakan legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, koperasi harus didorong menjadi bagian dari gerakan ekonomi rakyat.

Tantangannya saat ini, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, adalah mewujudkan koperasi sebagai sebuah entitas yang bisa bermanfaat luas bagi lebih banyak orang.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, H.P. Martin Y Manurung mengungkapkan, saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perkoperasian.

Menurut Martin, dari sisi mekanisme perundang-undangan, pihaknya menginginkan pembahasan RUU Perkoperasian bisa selesai dengan cepat. "Kalau bisa Agustus tahun ini sudah selesai," ujarnya.

Martin menilai, kehadiran undang-undang ini sangat penting, karena dari sisi UUD 1945, Pasal 33 koperasi adalah soko guru perekonomian negara kita.

Selain itu, ujar Martin, UU no 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian yang ada saat ini sudah tidak mampu mengantisipasi perkembangan zaman.

Di masa Orde Baru, Martin menilai, koperasi cukup eksis meski pembentukannya top down. Padahal semangat pembentukan koperasi adalah bottom up.

Namun, tambahnya, yang terjadi saat ini banyak koperasi  simpan pinjam yang gagal bayar. Di saat yang sama sekarang muncul BUMDes di desa-desa. Koperasi terkesan luput dari perhatian.

Menurut Martin, pada RUU Perkoperasian yang akan diajukan ini ada sejumlah pengaturan yang lebih detail seperti antara lain ada tentang koperasi syariah dan pemanfaatan sistem digital.

Martin juga berharap bila UU Perkoperasian yang baru berlaku kelak, bisa membantu penyelesaian sejumlah kasus perkoperasian yang terjadi saat ini.

Kepala Bidang Kelembagaan Koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM RI, Aditya Putra mengungkapkan bahwa UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak mampu  mengikuti perkembangan zaman.

Proses pembuatan RUU Perkoperasian yang baru, ungkap Aditya, saat ini sudah melaksanakan tahap sosialisasi ke masyarakat, dan berkomunikasi antar kementerian dan lembaga terkait sejumlah kewenangan.

Kehadiran RUU Perkoperasian itu, tambah dia, untuk menjawab kebutuhan masa kini dan mengantisipasi masa depan yang sarat dengan perubahan.

Selain itu, tambah dia, RUU Perkoperasian yang merupakan revisi dari UU No.25 Tahun 1992 itu, bertujuan agar koperasi setara dengan badan-badan usaha lainnya, memiliki cakupan usaha yang lebih luas dan juga meningkatkan aspek perlindungan terhadap anggotanya.

Terkait mekanisme perlindungannya, jelas Aditya, bisa dalam bentuk menghadirkan lembaga pengawas seperti OJK dan lembaga penjamin simpanan seperti LPS di perbankan.

"Jadi, nanti ada penataan aspek perlindungan terhadap anggota dan koperasi sebagai badan hukum," ujarnya.

Ekonom INDEF, Nailul Huda berpendapat dahulu koperasi adalah soko guru perekonomian nasional, tetapi sekarang masalah yang dihadapi koperasi malah bertubi-tubi.

Sejatinya, ujar Nailul, orientasi koperasi adalah gerakan ekonomi rakyat yang berasaskan kekeluargaan. Sehingga, tambah dia, koperasi merupakan bagian penting dalam membantu pemulihan ekonomi rumah tangga dan nasional.

Pola bisnis koperasi pun, menurut Nailul, banyak mengalami perubahan. Dahulu banyak koperasi memberi layanan simpan pinjam, memproduksi dan menjual sejumlah barang.

Sekarang, ungkapnya, banyak koperasi menjalankan praktik seperti lembaga investasi, bahkan terkadang investasi bodong.

Catatan INDEF, saat ini 70% koperasi di Indonesia merupakan koperasi simpan pinjam yang melayani permodalan untuk masyarakat yang tidak terjangkau perbankan.

Sekitar 60% koperasi beromzet di bawah Rp300 juta dan hanya kurang dari 1% yang beromzet di atas Rp5 miliar.

Lemahnya manajemen dan permodalan, rendahnya partisipasi anggota dan kapasitas koperasi serta SDM, ungkap Nailul, masih menjadi kelemahan sebagian besar koperasi di tanah air.

Wakil Pemimpin Redaksi KONTAN, Titis Nurdiana berpendapat aspek perlindungan terhadap anggota koperasi harus mendapat perhatian serius dalam UU Perkoperasian yang baru.

Titis menyarankan, bila membangun perekonomian seharusnya mulai dari membangun koperasi, baru mendirikan BUMDes, BPR dan seterusnya.

Selain itu, tegas Titis, kehadiran UU Perkoperasian yang baru harus menghadirkan aspek pengawasan yang kuat, karena bila koperasi dikelola dengan baik dan benar berpotensi menjadi lembaga keuangan besar.
"Bila aspek pengawasannya lemah bisa menimbulkan banyak masalah," ujarnya.

Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat dulu aspek pengawasan di perkoperasian diakomodasi dalam bentuk pembinaan, sehingga praktik perkoperasian di tanah air sulit berkembang.

Kehadiran UU Perkoperasian yang baru dengan pengaturan pengawasan yang lebih ketat, ujar Saur, bisa menjadi legacy penting dari wakil rakyat dan pemerintah saat ini, bagi perkembangan perkoperasian nasional di masa datang.

Pada kesempatan itu, Saur memberi contoh tentang koperasi susu di India yang berdiri sejak 1946 dan saat ini memiliki revenue sampai  US$6,9 billion. "Kita perlu belajar dari India," pungkasnya. *


Anggota Terkait :

Dr. LESTARI MOERDIJAT S.S., M.M.